๐ง๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ผ๐๐ป๐๐๐ฎ๐ป๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ.๐๐ผ๐บ-๐๐ผ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ฎ Jika melihat kiprahnya yang sudah memasuki usia 65 tahun (sejak pemilu pertama digelar 1955) seharusnya partai politik telah memasuki eksistensi wisdom dan mapan dalam membangun dan mengorganisir dirinya di tengah konstelasi politik nasional dan global. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi. Pemicu kegagalan itu ditengarai oleh beberapa faktor: pertama, watak oligarkis atau feodalisme yang menggerogoti tubuh partai politik.dikutip dari laman Cakradunia.co (6/9/24)
Oligarkis dan feodalisme merupakan watak kekuasaan sekelompok elite yang secara materi buruk. Amandemen UUD 1945 yang menempatkan partai politik dalam posisi yang strategis bahkan supreme dalam struktur ketatanegaraan, memang memposisikan partai politik bak โlumbung atau singgasana syurgawiโ bagi petualang-petualang kekuasaan.
Dalam pertumbuhannya demokrasi semakin terkurung dalam ruang ambisi dan monopoli praktek kekuaasaan oligarki. Keputusan kelompok oligarki sering tidak memperdulikan belas kasihan sebagian kecil perut masyarakat. Awal mula aktivitas oligarki itu dimulai dengan adanya KKN merajalela, lemahnya substansi hukum, adanya politik tranksaksional hingga sederetan masalah dimana demokrasi terperangkap dan diakusisi oleh beberapa kepentingan kaum oligarki.
Saat ini oligarki menjadi sebuah ancaman bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Seluruh kekuasaan terbesar dipegang sepenuhnya oleh kaum elit demi keuntungan pribadi mereka. Kita harus ingat bahwa Negara kita adalah Negara demokrasi, dimana kekuasaan terbesar ada pada rakyat itu sendiri. Jika berbicara tentang demokrasi, maka harus berbicara pula tentang kedaulatan rakyat. Demokrasi berdiri atas prinsip persamaan, bahwa setiap manusia adalah sederajat.
Di negaraย demokrasi, kita semua berdaulat, semuanya sama-sama punya kuasa. Tapi pada kenyataannya, sistem demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita yang diharapkan.
Mengutip pernyataan Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di Northwestenn University dalam bukunya yang berjudul โOligarchyโ menyatakan bahwa oligarki menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis kekuatan dan upaya mempertahankan kekayaan pada diri mereka.
Adanya ketidaksetaraan material tersebut mengakibatkan ketidaksetaraan kekuasaan politik. Kondisi itu juga yang terjadi di Indonesia saat ini.Jika dulu sebelum pra reformas sebelum oligarki berkuasa pada ranah sentral, di era reformasi sekarang oligarki semakin berkembang ke berbagai bentuk melalui partai politik, pemilu dan parlemen yang kini hidup dan tumbuh kembang dari pusat hingga pelosok daerah.
Pelaksanaan demokrasi juga erat hubungannya dengan pembangunan nasional. Tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ialah pembangunan yang saling berkesinambungan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Mengutip pernyataan Bung Hatta, “Jika kita ingin membangun suatu dunia dimana setiap orang seharusnya bahagia.”. Hal ini mengacu pada proses pembangunan yang seharusnya melibatkan rakyat, tapi pada kenyataannya rakyat hanyaย menjadi penonton dan alamat dari pembangunan itu sendiri. Konsep pembangunan yang keliru ini dilakukan oleh sekelompok elit politik dengan tujuan meningkatkan nilai tambah ekonomi, bukan nilai tambah manusia. Padahal hak sepenuhnya menjadi milik kita, rakyat Indonesia.
“Money is Power” mungkin tiga kata yang mewakili sistem pemerintahan di negara demokrasi ini. Uang menjadi kuasa tertinggi diatas segalanya, bahkan sesuatu yang tidak dapat disejajarkan nilainya dengan uang kini bisa ditukar dengan uang, seperti dewan perwakilan, jabatan, gelar, wewenang dan posisi fungsional. Sangat jelas bahwa pemerintahan, pemilu, dan partai yang diharapkan diisi oleh orang-orang yang mengabdi dan bekerja untuk rakyat telah berubah, diisi oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan materil serta basis kepentingan kapitalisnya sendiri. Nyatanya,ย kaumย elit yang bermodal membeli politik (kekuasaan) dengan kekayaan yang mereka miliki.
Masyarakat tidak bisa dibodohi terus-menerus, kekecewaan publik lama kelamaan akan menjadi boomerang bagi elit-elit politik yang menyimpang. Pelaksanaan demokrasi haruslah memperhatikan unsur kompetensi dan integritas. Demokrasi tanpa kompetensi dan integritas hanya mengandalkan mobilisasi, bukan partisipasi.
Maka dari itu pentingnya pemikiran kritis dari berbagai aspek untuk dapat menggeser nilai oligariki serta mengembalikan nilai lama dalamย pengamalan pancasila dan UUD 1945 sebagai pondasi demokrasi.
Pen: Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang Editor : Andi Syam/Red