Masyarakat Adat Lajatiro Desak Kapolri Copot Kapolsek Mauponggo Buntut Penghinaan Simbol Budaya Ana Jeo

TEROBOSNUSANTARA.COM-NAGEKEO NTT-Masyarakat Adat Lajatiro minta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mencopot Iptu Yakobus K. Sanam dari jabatan Kapolsek Mauponggo dan juga memberi sangsi tegas atas perkataan yang dinilai telah mencoreng profesi Polri.

Permintaan copot dan menindak tegas Kapolsek Mauponggo itu buntut penghinaan terhadap simbol budaya milik masyarakat Adat Lajatiro   “Ana Jeo”. Hal itu diungkapkan salah satu Tokoh Adat  Lajatiro Florentinus Jolo, Rabu (08/05/2024).

Menurutnya, kata “tai pus” yang dilontarkan oleh Kapolsek Mauponggo itu adalah sebuah bentuk penghinaan verbal terhadap budaya dan masyarakat Adat Lajatiro. Sebagai seorang pimpinan atau pejabat publik, seharusnya Kapolsek Mauponggo berdiri menjadi penengah, pelindung masyarakat termasuk menghargai ritual dan simbol budaya yang ada di dalamnya.

“Terus terang kami sangat kecewa dan mengutuk keras apa yang diucapkan Pak Jek di Lajatiro itu. Dengan lantang, lalu dalam posisi marah-marah di hadapan kami semua dia bilang, ini semua gara-gara Ana Jeo tai pus. Kita kan tau kalau polisi itu kan pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat. Terlepas apakah benar atau salahnya seseorang dalam suatu permasalahan, warga Negara beserta hak-haknya sebagai warga negara semacam kebudayaan begini wajib untuk dilindungi dengan humanis oleh penyelenggara negara. Apapun itu, apalagi Polri yang kita tau mereka punya program Presisi itu. Lagi pula dia ini seorang Perwira Polisi yang semestinya paham dengan kode etik profesinya. Maka dari itu kami meminta atensi dari Bapak Kapolri untuk dapat mengambil tindakan tegas sesuai prosedur di Kepolisian,” ungkap Florentinus.

Lanjut Florentinus, Ana Jeo adalah warisan leluhur suku Lajatiro yang sangat disakralkan dan juga sebagai simbol jati diri mereka sehingga tidak sepantasnya untuk dicaci maki.

“Waduh Pak, Ana Jeo ini bagi kami benda sakral, jati diri kami orang Nagekeo pada umumnya. Salah satu dari berbagai warisan leluhur kami, bagian dari adat istiadat dan kebudayaan kami Pak. Apakah pantas dicaci-maki begitu?! Sungguh terkutuk. Itu artinya Pak Jek ini tidak tau menghormati tatanan budaya yang ada di sini, tidak pantas dia bertugas di sini,” jelasnya.

Sehingga dari itu, sebagai fungsionari Adat Lajatiro, Florentinus meminta kepada Pimpinan tertinggi Polri untuk segera menindak secara tegas Kapolsek Mauponggo sesuai ketentuan yang berlaku.

“Kalau bisa copot dari jabatan Kapolsek atau diberi tindakan yang lebih tegas lagi, agar di kemudian hari tidak ada lagi yang seperti itu. Semoga Bapak Kapolri dapat mendengarkan keluhan kami orang kecil ini“, sambung Florentinus.

Untuk diketahui, kejadian bermula dari larangan Camat Mauponggo tertanggal 24 Agustus 2024 untuk tidak melakukan aktifitas apapun terkait ritual adat dan budaya, berdasarkan kesepakatan yang dibuat Forum Penyelesaian Masalah Adat dan Budaya Lajatiro- Bayu dan Batawa yang sebelumnya terlibat masalah dengan tujuan menghindari terjadinya konflik sosial.

“Awalnya kan karena berita acara yang difasilitasi Pak Camat itu, sehingga pada waktu kami melakukan Ritual Adat Yawa Ki tanggal 7 September datanglah Polisi bersama Pak Camat, di susul kelompok yang sebelumnya berseberangan dengan kami. Maksud kedatangan mereka adalah untuk menghentikan aktivitas yang kami lakukan pada waktu itu, maka terjadilah peristiwa-peristiwa yang menyakitkan itu. Ana Jeo yang kami hormati dibilang Tai Pus, terus Toko Adat yang kami hormati diancam-ancam akan di borgol, masukan ke sel dan seterusnya“, kata Florentinus.

Saat ditanya mengapa dirinya dan rekan-rekan keukeuh melaksanakan ritual adat di tengah larangan Pemerintah Kecamatan, Florentinus mengaku karena Pihaknya bersama Tokoh Sentral Ine Tana Ame Watu tidak pernah bersepakat sebelumnya.

“siapa yang bersepakat dengan forum itu, cek bae-bae berita acaranya. Ada tidak tanda tangan Pak Dionisius Woru di situ selaku ine tana ame watu?! Kalau tidak ada, itu artinya beliau berkeberatan dengan poin-poin kesepakatan yang dibuat di forum. Perlu diingat, Pak Dion ini Tetua Adat tertinggi yang dihormati oleh semua dan semestinya menjadi penengah dalam persoalan ini“, timpal Florentinus.

Tak hanya Ana Jeo yang dinistakan, Tokoh Adat Ine Tana Ame Watu Suku Nila, Dionisius Worupun turut diancam oleh Iptu. Jek saat itu. Sebagaimana diungkapkan Ferdinandus Koa, kerabat Dionisius Woru di sela-sela wawancara yang digelar media ini.

“Kakak saya ini sebagai Ine Tana Ame Watu juga merasa tertekan psikisnya, dia diancam oleh Pak Jek akan diborgol dan dipenjarakan. Tau sendiri Pak, kami orang kampung tidak biasa menerima perlakuan seperti itu. Yang jelas saja dia merasa tidak nyaman sampai dengan saat ini. Mau sampai kapan dia hidup dalam ketakutan seperti ini. Apalagi dia ini seorang tokoh. Ini jelas-jelas penistaan, tidak hanya simbol Adat tetapi juga dengan tokoh-tokoh Adat kami“, ungkap Ferdinandus yang dibenarkan oleh Dionisius Woru di lokasi wawancara.

Saat dikonfirmasi melalui pesan Whatsapp, Iptu. Yakobus menjelaskan bahwa Kapasitasnya dalam kejadian di Lajatiro adalah selaku Penanggung jawab Kantibmas di wilayah hukum Mauponggo. Yang kepentingannya hanya Kantibmas dan keselamatan banyak orang, bukan sekelompok orang. Berikut ini isi pesan whatsappnya Iptu. Yakobus yang diterima Realitaindo pada Sabtu, (4/5/2024):

“Waduh, pak wartawan ni bisa tu saya legalitas saya di wilkum Mauponggo. Saya selaku kapolsek penanggung jawab kamtibmas SKEP dari dari Bapk Kapolda dan dilantik oleh bpk Kapolres, apa yg saya lakukan di wilkum mauponggo dpt saya pertanggung jawabkan perihal ada orang mencatut nama saya secara personal itu bagian dari resiko tugas selama masih wajar saya maklumi namun jika merupaakn perbuatan pidana pasti akan saya hadapi. Jadi saya ke lajatiro atas nama kapolsek bukan personal pak wartawan dan kepentingan kami forkopimcam adalah KAMTIBMAS dan KESELAMATAN BANYAK ORANG bukan sekelompok orang, budaya ada dalam negara dan diakui oleh negara serta diatur oleh negara dan kepentingan kami adalah kamtibmas tidak ada kepentingan lainnya. Soal larangan bukan kapolsek yang larang tapi camat atasnama pembina budaya dan untuk kepentingan trantibum. Kalau kaka berkenan hari Senin bisa bertemu saya di Polsek ya supaya pak wartawan juga bisa bertemu camat dan danramil ya. Terimakasih.“, demikian kutipan pesan Whatsapp Kapolsek Mauponggo Iptu Yakobus K. Sanam.

*Penulis:Andi Alang*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *