𝗧𝗲𝗿𝗼𝗯𝗼𝘀𝗻𝘂𝘀𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮.𝗖𝗼𝗺-𝗝𝗮𝗸𝗮𝗿𝘁𝗮 Gelombang aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang terjadi di berbagai daerah dinilai bukan sekadar gerakan spontan dari kelompok sipil. Sejumlah pengamat intelijen dan geopolitik menduga bahwa aksi ini telah ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu, termasuk skenario “Operasi Solo” yang disebut-sebut berkaitan dengan strategi untuk mempercepat Gibran Rakabuming Raka menuju kursi RI-1.
Seorang pengamat intelijen Amir Hamzah menyatakan bahwa ada pola sistematis dalam demonstrasi yang terjadi. Menurutnya, berbagai elemen yang terlibat dalam aksi menolak revisi UU TNI tampaknya memiliki agenda lain di luar substansi perdebatan mengenai keterlibatan prajurit aktif di ranah sipil.
“Kita melihat adanya pola pergerakan yang terkoordinasi dengan baik, yang didukung oleh jaringan tertentu. Ini bukan sekadar gerakan organik mahasiswa atau aktivis HAM semata. Ada indikasi bahwa momentum ini digunakan untuk menggeser opini publik dan membangun narasi tertentu,” ujarnya kepada penasehat media Terobosnusantara, Sabtu (22/3/25).
Ia menambahkan bahwa istilah “Operasi Solo” mengacu pada dugaan skenario politik yang berpusat di Solo, kota asal Presiden Joko Widodo dan tempat di mana Gibran Rakabuming Raka saat itu menjabat sebagai Wali Kota.
“Demo ini bukan sekadar spontanitas. Ada pola sistematis, logistik yang kuat, dan pesan politik yang diarahkan pada delegitimasi pemerintahan Prabowo Subianto. Jika Prabowo mengalami krisis kepemimpinan atau jatuh secara konstitusi, otomatis Gibran, sebagai wakil presiden, akan naik menggantikannya,” ungkap Amir Hamzah kepada www.suaranasional.com, Jumat (21/3/25).
“Solo bukan sekadar kota biasa dalam peta politik Indonesia. Ini adalah simbol kekuasaan dinasti Jokowi, dan ada upaya untuk membentuk jalur aman bagi Gibran untuk melanjutkan kepemimpinan nasional. Salah satu caranya adalah dengan mengendalikan dinamika politik dan keamanan, termasuk melalui isu-isu yang sensitif seperti revisi UU TNI ini,” tambahnya.
Revisi UU TNI menjadi polemik karena dinilai memberikan ruang lebih besar bagi keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Kelompok pro-demokrasi dan aktivis HAM menentang revisi ini karena dianggap dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI ala Orde Baru. Namun, pengamat geopolitik Dr. Agus Santoso berpendapat bahwa di balik argumen normatif tersebut, ada kepentingan politik yang lebih besar.
“Demo ini bisa jadi hanyalah alat untuk menggiring opini bahwa TNI sedang digunakan sebagai alat kekuasaan. Jika narasi ini terus dimainkan, maka ke depan bisa dijadikan landasan untuk membangun dukungan terhadap tokoh alternatif, termasuk Gibran, yang ingin diposisikan sebagai pemimpin sipil tanpa keterlibatan militer yang kuat,” kata Dr. Agus.
Ia menambahkan bahwa momentum ini juga bisa digunakan untuk menciptakan instabilitas politik yang menguntungkan pihak tertentu. Jika UU TNI terus dipermasalahkan hingga menciptakan konflik antara sipil dan militer, maka bisa terjadi delegitimasi terhadap pemerintahan saat ini, membuka ruang bagi elite politik baru untuk tampil sebagai penyelamat.
Skenario politik menuju 2029 semakin menarik perhatian setelah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres termuda dalam sejarah Indonesia. Meski baru di tahap awal karier politik nasional, manuvernya menunjukkan adanya grand design untuk melanjutkan pengaruh keluarga Jokowi dalam pemerintahan.
Menurut pengamat politik dari Universitas Nasional, Dr. Heru Wijaya, salah satu strategi yang mungkin digunakan adalah dengan menciptakan wacana bahwa institusi militer perlu direformasi atau bahkan dibatasi perannya dalam pemerintahan.
“Jika militer terus diposisikan sebagai ancaman demokrasi, maka masyarakat akan mencari alternatif kepemimpinan sipil yang dianggap bersih dan progresif. Di sinilah Gibran bisa muncul sebagai tokoh muda yang menawarkan solusi atas ‘krisis’ yang sedang diciptakan,” jelas Dr. Heru.
Ia juga menyoroti bahwa Solo, sebagai basis politik keluarga Jokowi, telah menjadi laboratorium berbagai strategi politik yang kemudian diterapkan secara nasional.
“Dari kemenangan Jokowi di Pilkada Solo, kemudian Pilgub DKI, hingga dua kali Pilpres, kita bisa melihat bagaimana Solo menjadi pusat eksperimen politik yang sukses. Jadi, jangan heran jika sekarang ada istilah ‘Operasi Solo’ yang mungkin sedang berjalan untuk memuluskan langkah Gibran di masa depan,” pungkasnya.
Meskipun belum ada bukti konkret yang mengarah pada keterlibatan langsung pihak tertentu dalam aksi demo penolakan UU TNI, berbagai indikasi menunjukkan bahwa ada kepentingan politik yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini.
Apakah “Operasi Solo” benar-benar nyata atau hanya teori spekulatif? Yang jelas, dinamika politik menuju 2029 semakin kompleks, dan publik perlu lebih cermat dalam membaca arah pergerakan politik yang sedang berlangsung.
𝗣𝗲𝗻𝘂𝗹𝗶𝘀/𝗘𝗱𝗶𝘁𝗼𝗿: 𝗔𝗻𝗱𝗶 𝗦𝘆𝗮𝗺
𝗦𝘂𝗺𝗯𝗲𝗿:𝗔𝗿𝗶𝘀𝗮𝗻𝗱𝗶,𝗠.𝗦𝗶.𝗣𝘂𝗿𝗻 𝗧𝗡𝗜
